Selasa, 23 November 2010

STUDI TERHADAP BIAYA PEROLEHAN HAK MILIK ATAS TANAH DALAM PENERAPAN ASAS TERJANGKAU MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH DI KOTA SAMARINDA.

Ketentuan dasar mengenai pokok-pokok agraria diatur dan diamanhkan oleh Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikelola oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Beranjak dari pasal inilah lahirnya peraturan perundang-undangan yang lebih fokus mengupas ketentuan-ketentuan pokok agraria yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang ketentuan Pokok-Pokok Agraria (LN Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104), selanjutnya disingkat UUPA. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang ketentuan Pokok-Pokok Agraria, hukum tanah di Indonesia bersifat dualisme, artinya selain diakui berlakunya hukum tanah adat yang bersumber dari Hukum Adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai tanah yang didasarkan atas Hukum Barat. (Adrian Sutedi, 2006 : 1). Setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, maka berakhirlah masa dualisme hukum tanah yang berlaku di Indonesia menjadi suatu unifikasi hukum tanah. Segala macam perbuatan hukum yang menyangkut masalah tanah diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, termasuk mengenai pendaftaran tanah sebagai proses penting tercapainya kepastian hukum di bidang pertanahan.
                  Pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 berbunyi : “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Pendaftaran tanah merupakan langkah untuk memberikan kepastian hukum dalam bidang pertanahan mengingat kebutuhan atas tanah semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan lain yang terkait dengan tanah. Tanah tidak saja berfungsi sebagai tempat bermukim, tempat untuk bertani, tetapi tanah juga dapat digunakan sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Begitu pentingnya kegunaan tanah bagi orang atau badan  hukum menuntut adanya jaminan kepastian hukum atas tanah tersebut.
Di Indonesia dalam penerapan sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem negatif yang bertendensi positif artinya “Meskipun subyek hak yang tercatat pada buku tanah masih dapat digugat oleh pihak lain, tetapi diberikan sertipikat sebagai tanda bukti yang kuat” (Irawan Surodjo, 2002 : 44). Sementara itu pemilik tanah yang sebenarnya tidak dihapuskan, akan tetapi dimungkinkan dapat menguasai kembali tanah tersebut sepanjang berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dinyatakan sebagai pemilik yang sah. Ini memberikan pengertian bahwa proses pendaftaran tanah hingga terbitnya sertipikat tanah merupakan langkah penting yang harus dilakukan seseorang apabila tidak ingin dikemudian hari terjadi permasalahan seputar tanah yang dimilikinya atau merupakan sebuah langkah proteksi.
      Melihat pentingnya proses pendaftaran tanah dalam menciptakan kepastian hukum di bidang pertanahan dan berlandaskan pada Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menyebutkan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai pendaftaran Tanah akan diatur oleh Peraturan Pemerintah maka lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 961 Tentang Pendaftaran Tanah (LN Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 28) yang telah disempurnakan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (LN Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59). Pendaftaran Tanah menurut Pasal 1 Poin 1 Peratuan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah “Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur yang meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk surat tanda bukti haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak yang membebaninya”
            Pendaftaran Tanah ini melalui suatu kegiatan yang sangat teliti dan terarah sehinga data dan informasi yang tercantum dalam tanda bukti kepemilikan hak (sertipikat) bukan merupakan data yang asal, tetapi merupakan data yang benar dan harus dapat diterima sebagai alat pembuktian yang kuat selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya.  Secara umum tujuan pendaftaran tanah menurut Pasal 3 Peratuan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, berbunyi :
1.      Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar.
2.      Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan.
3.      Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
            Pasal 2 Peratuan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan mengenai asas dari pendaftaran tanah yang merupakan landasan bagi pelaksanaan pendaftaran tanah. Adapun asas dari pendaftaran tanah dalam Peratuan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah :
1.      Asas sederhana
2.      Asas aman
3.      Asas terjangkau
4.      Asas muktahir
5.      dan Asas terbuka

            Dewasa ini tanah merupakan faktor vital kegiatan ekonomi masyarakat dimana kegunaannya tidak saja hanya sebatas sebagai tempat untuk bermukim tetapi lebih dari pada itu tanah merupakan bentuk investasi masyarakat. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa tingkat kebutuhan masyarakat terhadap tanah semakin tinggi terutama di Kota Samarinda. Semakin tinginya tingkat kebutuhan masyarakat Kota Samarinda terhadap tanah seharusnya diimbangi dengan kesadaran hukum yang tinggi dalam melakukan pendaftaran tanah, hal ini penting untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungn hukum. Tetapi yang sering menjadi kendala bagi masyarakat Kota Samarinda untuk melakukan pendaftaran tanah adalah besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk mendapatkan bukti kepemilikan tanah tersebut. Pasal 11 Ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peratuaran Dasar Pokok-Pokok Agraria disebutkan bahwa “Perbedaan dalam keadaan masyarakat  dan keperluan hukum golongan dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah”.
      Amanah dari UUPA ini tercermin dalam Pasal 2 Peratuan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang salah satunya menyebutkan adanya asas terjangkau. Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan.
            Penerapan biaya permohonan hak atas tanah Badan Pertanahan Nasional Kota Samarinda berpedoman kepada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional (LN Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 88). Penetapan biaya permohonan hak atas tanah juga tidak terlepas dari adanya unsur pajak, hal ini merupakan salah satu proses bagi masyarakat sebelum mendapatkan sertipikat tanah, ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah (LN Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130). Adapun pajak yang harus dibayar oleh masyarakat yang ingin mendapatkan hak atas tanah adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), di dalam praktek besarnya pajak BPHTB inilah yang tidak dapat terkontrol karena setiap tahun selalu bertambah mengikuti besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Oleh karena itu bagi masyarakat yang sekarang yang ingin mendaftarkan tanahnya, di samping harus memenuhi biaya pemohon yang ditetapkan aturan pendaftaran tanah masih juga ada biaya-biaya lain atas perintah undang-undang yang tidak dapat diabaikan seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang BPHTB. Pada tingkat daerah sesuai Keputusan Kakanwil Badan Pertanahan Nasional Prov. Kaltim No.29/600/BPN-44/2007 tertanggal 2 Februari Tahun 2007, keputusan biaya untuk pendaftaran tanah sudah ditentukan yang merupakan pedoman bagi pelaksanaan pendaftaran tanah di daerah Samarinda khususnya mengatur mengenai besarnya tarif  pembayaran blanko permohonan, tarif pembayaran panitia A, dan biaya pendaftaran Surat Keputusan Hak. Bagi pemohon sertipikat yang sudah membayar biaya pendaftaran Surat Keputusan Hak tidak serta merta langsung mendapatkan sertipikat hak atas tanah, ada beberapa proses pembayaran yang harus dilalui diantaranya adalah proses pembayaran uang pemasukan kas Negara yang dibayar di Loket Kantor Pertanahan setempat, dan membayar biaya BPHTB di bank-bank yang telah ditunjuk. Semua biaya yang dibebankan dari ketentuan aturan pendaftaran tanah itu sendiri menjadi sebuah masalah bagi kebanyakan masyarakat Samarinda untuk mendaftarkan tanahnya, apalagi bagi golongan masyarakat yang tidak mampu. Disinilah diperlukan adanya penerapan asas terjangkau yang mampu merangkul semua golongan terutama golongan ekonomi lemah untuk dapat melakukan proses sertipikasi tanah yang dimilikinya.
            Pendaftaran tanah merupakan jalan bagi si pemilik hak atas tanah untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanahnya dan sertipikat tanah adalah alat pembuktian terkuat yang merupakan hasil dari proses-proses pendaftaran tanah. Menjadi perhatian disini adalah tingginya biaya pendaftaran tanah dapat menghalangi mereka-mereka yang tidak mampu secara ekonomi untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanah yang dimiliknya. Padahal tidak semua masyarakat Samarinda mampu untuk membayar biaya sertipikasi tanah tersebut. Tingginya biaya yang harus mereka keluarkan untuk mendapatkan sertipikat tanah menimbulkan pertanyaan apakah kepastian hukum yang merupakan tujuan dari pendaftaran tanah dapat dilaksanakan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar