Kamis, 18 November 2010

Eksistensi dan Dualisme Pembinaan Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan di Indonesia


Era reformasi yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 1998, salah satu penyebabnya adalah pengaruh perubahan nilai terhadap prilaku politik, ekonomi dan hukum. Oleh karena itu reformasi mencakup 3 (tiga) aspek yaitu politik, ekonomi dan hukum. Reformasi di bidang hukum berusaha untuk menegakan kembali supremasi hukum. Dan dalam rangka menegakkan supremasi hukum, lembaga yang paling banyak disorot adalah lembaga peradilan.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa negara Indonesia merupakan sebuah negara hukum (pasal 1 ayat 3). Secara sederhana Negara Hukum dapat diartikan sebagai negara yang meletakkan hukum sebagai panglima dan pedoman di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, mengalahkan segala bentuk  kekuasaan lainnya. Dari konsep negara ini berarti negara Indonesia menghendaki adanya supremasi hukum dan  upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga-lembaga peradilan.
Di dalam sebuah negara hukum peranan dari lembaga-lembaga peradilan sangat diperlukan demi tercapainya sebuah supremasi hukum. Upaya penegakan hukum ini diterapkan diberbagai bidang, dan salah satunya adalah di bidang Perpajakan untuk memberikan keadilan sebagai akibat timbulnya permasalahan antara subjek pajak (rakyat) dengan pemungut pajak (pemerintah) atau dapat pula disebut sebagai sengketa pajak. Dari hal tersebut maka dibentuklah Pengadilan Pajak melalui Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
Di Indonesia badan peradilan yang menangani masalah perpajakan sebenarnya telah ada sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Lembaga yang pertama kali dibentuk untuk mengadili sengketa pajak adalah Raad van Beroep voor Belastingzaken (Majelis Pertimbangan Rakyat) pada tahun 1915. Dalam perkembangan selanjutnya pada periode 1983 hingga 1997, dicoba dibentuk Badan Peradilan Pajak, akan tetapi usaha-usaha yang dilakukan tidak memberi hasil untuk terbentuknya Badan Peradilan Pajak, sehingga kewenangan mengadili sengketa pajak tetap dijalankan oleh Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), namun  dengan kewenangan yang diperluas. Pada periode 1997 hingga 2002, kewenangan mengadili sengeta pajak beralih pada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997. Namun, dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan dan sejak tahun 2002 kewenangan ini beralih kepada Pengadilan Pajak, sebagai “format” terbaru dari badan penyelesaian sengketa pajak yang diharapkan dapat mewujudkan keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa, dan sebagai penyempurna dari badan-badan penyelesaian sengketa pajak terdahulu.
Pengadilan Pajak yang dibuat atas dasar Undang-undang Nomor 14   Tahun 2002. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan yang mengurusi masalah perpajakan pada tingkat pertama dan terakhir (Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor.14 Tahun 2002). Secara hirarki Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan khusus dari lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara, karena melihat dari wewenang yang sama-sama memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Administrasi Negara. Melihat secara hirarki Pengadilan pajak merupakan peradilan administrasi (yudicial control) yang salah satu tujuannya adalah dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada rakyat yang merasa dirugikan sebagia akibat dari keputusan administrasi negara dalam bentuk ketetapan (beschikking) yang diterbitkan oleh pejabat atau badan Administrasi Negara. Pada dasarnya keberadaan Pengadilan Pajak diharapkan mampu memberikan rasa keadilan kepada pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah masyarakat, tetapi dalam perjalanannya banyak masalah-masalah yang timbul baik dari segi kelembagaan, pembinaan, dan sistem regulasi yang mengatur Pengadilan Pajak itu sendiri.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 (2) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 2 lembaga pemegang kekuasan kehakiman tertingi, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi beserta 4 lingkungan peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Keempat peradilan yang terdapat di dalam Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945 adalah bersifat limitatif atau tetap artinya tidak dimungkinkan lagi adanya lembaga peradilan selain keempat peradilan tersebut. Apabila dilihat dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, di dalamnya tidak terdapat sebuah ketetapan mengenai letak dan kedudukan pengadilan pajak. Hal ini yang menimbulkan kesan bahwa pengadilan pajak merupakan sebuah lembaga peradilan baru selain keempat peradilan yang ditetapkan oleh Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945. Dalam Pasal 2 Undang-undang nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa  Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Ketentuan tersebut walaupun tidak konkrit disebutkan namun dapat dipahami kehendak pasal tersebut adalah menginginkan adanya badan peradilan pajak secara mandiri sebagaimana Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Uaha Negara, yang sama-sama berkedudukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Hal ini dikarenakan Pengadilan Pajak telah memiliki seperangkat aturan yang melandasi keberadaannya, disamping karakteristik proses penyelesaian sengketa yang berbeda dengan badan peradilan lainnya.
Terbentuknya Pengadilan Pajak tidak terlepas dari upaya perlindungan hukum bagi rakyat. Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan salah satu yang sangat esensial dalam suatu negara hukum. Perlindungan dalam bidang perpajakan ini diberikan mengingat pemerintah selaku penguasa negara yang memiliki kewenangan atas hukum publik yang dengan hal itu dapat menentukan secara sepihak mengenai pemungutan pajak dan dalam proses pemungutan pajak yang dilakukan pemerintah tersebut sangat mungkin dan bahkan sering terjadi kelalaian atau kesalahan dalam menetapkan hutang pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak serta agar rakyat tidak diperlakukan semena-mena. Sehingga dalam menyelesaikan suatu sengketa pajak, kedudukan pemungut pajak (pemerintah) dan wajib pajak (rakyat) adalah sama.
Kontroversi mengenai pengadilan pajak berkembang seiring dengan perjalanan pengadilan ini. Kontroversi ini lahir karena masih adanya kekuasaan eksekutif (sebagai pemilik kewenangan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan) dalam Pengadilan Pajak yang berada di bawah kekuasaan yudikatif (kekuasaan kehakiman). 
Oleh karena itu, kajian ilmiah ini dilakukan untuk menganalisa bagaimana eksistensi dan dualisme pembinaan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia serta bagaimana pula implikasi yuridis dari eksistensi dan dualisme pembinaan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar