Rabu, 01 Desember 2010

Pengembangan Pembangunan Wilayah Perbatasan Indonesia Sebagai Upaya Menjaga Integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia

Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.499 buah serta luas wilayah sebesar 1,9 juta km2 selain membawa keuntungan bagi Indonesia, disisi lain membawa ancaman tersendiri bagi Indonesia terutama dalam masalah batas negara, apabila tidak ada pengelolaan yang baik. Wilayah perbatasan negara menjadi penting dikarenakan perbatasan suatu negara merupakan manifestasi utama kedaulatan suatu negara (sovereignty), termasuk penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, serta keamanan dan keutuhan wilayah. Oleh karena itu perlu adanya sistem manajemen pengeloaan wilayah perbatasan yang baik dan professional. Untuk itu akan dibahas langkah-langkah sistem manajemen wilayah perbatasan Indonesia untuk menjaga Integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.Sistem Manajemen Wilayah Perbatasan Dengan Pendekatan Kesejahteraan (Prosperity Approach)
Arus perpindahan manusia, barang, dan informasi yang meningkat telah menjadi implikasi nyata dari fenomena globalisasi sekarang ini. Hal ini menjadikan kawasan perbatasan sebagai sebuah aspek yang sangat strategis bagi sebuah Negara, baik dari sisi sosial, ekonomi, politik, dan hankam. Tentunya hal ini menuntut adanya sebuah sistem pengelolaan kawasan perbatasan yang sangat baik. Luasnya kawasan perbatasan Indonesia seharusnya mencerminkan adanya sebuah kebijakan pengelolaan perbatasan yang efektif  dan sangat baik. Namun kondisi sebenarnya menunjukkan sistem manajemen perbatasan Indonesia selama ini berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Meningkatnya tindak kejahatan di perbatasan seperti penyelundupan kayu, barang, dan obat-obatan terlarang, perdagangan manusia, terorisme telah mengganggu kedaulatan serta stabilitas keamanan di perbatasan Negara.
 Selama ini kawasan perbatasan hanya dianggap sebagai garis pertahanan terluar, oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam mengelola perbatasan hanya pada pendekatan keamanan (security approach). Padahal di beberapa Negara tetangga, misalnya di Malaysia telah menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan keamanan secara berdampingan pada pengembangan daerah perbatasan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pengaturan tentang pengembangan wilayah perbatasan di Kabupaten/Kota secara hukum berada di bawah tanggung jawab pemerintah daerah tersebut, sedangkan kewenangan pemerintah pusat hanya ada pada pintu-pintu perbatasan yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, keamanan, dan pertahanan. Meskipun demikian pemerintah Daerah masih mengalami hambatan dalam mengembangkan kawasan perbatasan dikarenakan kompleksnya permasalahan di daerah perbatasan. Beberapa hambatan tersebut diantaranya adalah pembangunan wilayah yang terpusat, sehingga kawasan perbatasan hanya dianggap sebagai “halaman belakang”, padahal apabila melihat peran dan fungsi wilayah perbatasan yang sangat penting seharusnya dapat dijadikan “halaman terdepan” yang dapat diandalkan baik dari segi pertahanan, maupun kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya.
 Keterbelakangan ini mengakibatkan arus informasi ke wilayah perbatasan menjadi sangat lambat terutama sosialisasi peraturan perundang-undangan mengenai pengembangan daerah perbatasan. Belum lagi masalah akses jalan yang kurang baik yang mengakibatkan seolah-olah wilayah perbatasan seperti terisolasi dari daerah-daerah lain di Indonesia. Hal ini juga salah satu alasan mengapa masyarakat di wilayah perbatasan lebih sering berinteraksi dengan Negara tetangga, bahkan sebagian dari mereka ada yang menggantungkan hidupnya di Negara tetangga. Bukan tidak mungkin sedikit-demi sedikit rasa nasionalisasi mereka akan hilang atau bahkan luntur sama sekali.
Dari pihak pemerintah sendiri untuk menyikapi hal tersebut mencoba menciptakan ekonomi kerakyatan lewat program perkebunan. Menteri Pertanian Anton Apriantono mengatakan mengenai programnya yaitu   : “Pemerintah akan menggunakan 'tanah yang terlantar' untuk ditanami kelapa sawit di sepanjang perbatasan Kalimantan. "Terdapat sekitas 2 juta hektare lahan seperti itu, dan itu yang akan kami prioritaskan," katanya.. Selama ini program perpindahan penduduk dari Jawa, Madura dan Bali biasanya menuju pulau-pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi) dan berorientasi ke arah pertanian. Lebih baik pola ini dikombinasi dengan perpindahan penduduk ke pulau-pulau kecil terluar Indonesia. Dengan demikian, pemerataan distribusi penduduk Indonesia secara geografis tetap tercapai, bahkan tercapainya tujuan lain seperti pertahanan dan keamanan. Aktivitas penduduknya pun tidak hanya berorientasi pada pertanian saja tetapi juga perikanan. Dengan adanya penduduk di pulau-pulau terluar tersebut maka bukan tidak mungkin akan muncul pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang memberikan dampak terhadap perekonomian nasional.
Hal ini semakin diperkuat oleh pendapat Eddy MT. Sianturi, S.Si. dan Nafsiah, SP Peneliti Puslitbang Strahan Balitbang Dephan yang menyatakan bahwa :
Pembangunan kesejahteraan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Wilayah perbatasan mempunyai nilai stategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional.

2.Sistem Manajemen Wilayah Perbatasan Dengan Pendekatan Keamanan (Security Approach)
Otoritas pengelolaan keamanan di perbatasan sendiri telah lama diserahkan kepada TNI. Hal ini salah satunya didasarkan pada Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) bahwa wewenang untuk menjaga keamanan di daerah perbatasan adalah salah satu fungsi pokok dari TNI. Masih lemahnya motivasi dan peran pemerintah Pusat dan daerah untuk mengelola daerah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan berimplikasi pada otoritas penuh TNI sebagai pengelola perbatsan Negara. Otoritas penuh  bagi TNI di perbatsan tersebut, tentunya sarat dengan penyimpangan. Sering kali beberapa media masa mengungkap oknum TNI yang terlibat dalam penyelundupan kayu illegal di kawasan perbatasan.
Isu keamanan yang dihadapi Indonesia disebabkan lemahnya pengawasan perbatasan baik di laut, udara maupun daratan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Sedangkan isu-isu yang menonjol adalah pembajakan dan perompakan di laut, imigran gelap penangkapan ikan secara ilegal, dan penyelundupan beredaran obat-obatan terlarang. Namun demikian lemahnya pengawasan terhadap perbatasan apabila ditinjau dari segi militer dikarenakan kapabilitas militer Indonesia yang memang lemah terutama dalam hal sarana dan infrastruktur. Kerjasama keamana regional merupakan pilihan bijak dalam mengatasi masalah ini dikarenakan kemampuan terbatas yang dimiliki Indonesia saat ini.
Sejak United Nations Convention on the Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982) ditetapkan sebagai pengaturan hukum laut internasional, yang mana dalam konvensi tersebut, konsep kewilayahan Indonesia yang mengatur tentang Negara kepulauan, mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Berkenaan dengan itu, Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan atas UNCLOS. Dengan dasar itu pula, Indonesia sebagai Negara kepulauan berhak untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim.
                        Menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS dan sebagai pengganti Undang-undang Nomor 4 PRP. 1960, Pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Undang-undang ini dibuat dengan maksud untuk mempertegas batas-batas terluar (outer limit) kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia di laut dan memberikan dasar yuridis dalam penetapan garis batas dengan negara-negara tetangga.
                        Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diharapkan juga bisa membantu melindungi dan mempertahankan wilayah Negara. Undang-undang ini dalam Pasal 18 memberikan kewenangan kepada daerah (yang memiliki wilayah laut) untuk mengelola wilayah laut (sumber daya) . kewenangan tersebut meliputi :
a. Explorasi, exploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut
b.Pengaturan administratif
c.Pengaturan tata ruang
d.Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah
e.Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan
f.Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Termasuk di dalamnya, jarak wilayah laut, teknis pengelolaan antar daerah dan kewenangan daerah untuk mengelola pulau-pulau di wilayahnya serta kepastian dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ada.
Selain itu, sebagai upaya preventif agar kasus Sipadan-Ligitan tidak terulang lagi, maka Pemerintah Indonesia perlu untuk memberi perhatian kepada pulau-pulau yang menjadi titik terluar perbatasan negara. Bentuk perhatian itu bisa diwujudkan dengan melakukan pembangunan, pengelolaan dan pengembangan kawasan tersebut. Karena selama ini keadaan pulau-pulau tersebut tidak terjangkau oleh pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, keadaan itu bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain yang berupaya untuk menguasai pulau tersebut. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu dilakukan dengan tujuan (Kartiko Purnomo, 2006;3) :
1.Menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan
2.Memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan
3.Memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.
Serta tidak lupa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan pulau perbatasan yang sudah berpenghuni, sehingga secara sosial psikologis ada bukti kepemilikan nyata dari Pemerintahan Indonesia.
Pengawasan terhadap kawasan perbatasan juga perlu ditingkatkan, agar situasi dan kondisi kawasan perbatasan dapat selalu diketahui yang berguna untuk menentukan kebijakan atau langkah-langkah selanjutnya yang perlu diambil terhadap kawasan perbatasan tersebut.     

Rabu, 24 November 2010

NIKAH BEDA AGAMA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM ????....

A. Nikah Beda Agama Menurut Pandanagan Islam

            Di dalam Agama Islam terdapat beberapa masalah-masalah yang telah sah keberadaan hukumnya. Dalil-dalil yang berkenaan dengan hukumnya pun qath’I atau pasti. Sehingga para ulama atau mujtahid telah sepakat mengenai  status hukumnya dan tidak perlu lagi perdebatan perbedaan penafsiran di dalamnya, seperti hukum zina, mabuk, judi, menikahi saudara sendiri. Masalah-masalah seperti ini sudah jelas agama Islam mengharamkan perbuatan tersebut.
            Selain masalah-masalah yang tidak ada perdebatan mengenai status hukumnya, di dalam Islam juga terdapat masalah-masalah yang belum mendapat kesepakatan. Para ulama masih berbeda pendapat karena di dalam Al-Quran dan Hadist tidak ada keterangan yang cukup jelas tentang status hukumnya. Masalah-masalah yang diperselisihkan dalam hukum Islam disebut masalah Khilafiyah.
            Pernikahan beda agama merupakan masalah Khilafiyah dalam Agama Islam. Para ulama masih mempersoalkan kebolehan nikah beda agama. Apakah nikah beda agama dihalalkan menurut syariat Islam atau diharamkan ? Hal ini timbul karena dalil-dalil agama Islam yang menjelaskan pernikahan beda agama masih memerlukan pemahaman yang lebih mendalam.

1. Pandangan yang tidak membolehkan

            Beberapa ulama sepakat pernikahan beda agama terlarang. Keterangan dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 menjadi landasan utama para mujtahid perihal terlarangnya pernikahan beda agama.

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya  wanita budak yang mu’min lebih baik dari pada wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahi orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mu’min, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mu’min lebih baik dari pada orang musyrik, walaupun dia menarik hati. Allah menerangkan ayat-ayat kepadamu supaya kamu mengambil pelajaran “

            Dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 ini merupakan dalil-dalil yang jelas melarang orang islam, baik laki-laki maupun perempuan untuk menikah beda Non Islam, sebelum mereka masuk Islam. Selain dalam surat Al-Baqarah ayat 221, kejalasannya juga terdapat dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 yang berbunyi
“… Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir dan hendaklah kamu meminta mahar yang telah kau berikan dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah ketetapan-Nya diantara kamu, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana”
            Dalam perintah surat ini, Allah memerintahkan untuk memutuskan hubungan perkawinan yang telah terjadi dengan orang non Islam. Adapun bagi mereka yang belum melangsungkan perkawinan dilarang melangsungkan perkawinan dengan oramg-orang musyrik. Disebutkan bahwa perkawinan yang telah terlanjur berlangsung dibatasi hanya sampai tahun ke 6 hijriah.

2. Pandangan yang membolehkan
  
            Sudah dijelaskan sebelumnya, persoalan nikah beda agama menjadi sebuah masalah khilafiyah (kontroversi) di kalangan umat Islam. Alasan para ulama yang membolehkan nikah beda agama, karena nikah beda agama secara doktrinal tidak dilarang oleh Allah SWT. Keterangan dalam surat Al-Maidah ayat 5 merupakan landasan yang menjelaskan kehalalan nikah beda agama.

   “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal baginya. Dan dihalalkan bagimu mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatannya diantara kamu dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya diantara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu. Bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud mengawininya dan tidak bermaksud menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman tidak menerima hukum Islam, maka hapuslah amalannya, dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi”
            Bahkan sebagai fakta sosial perkawinan beda agama sudah ada sejak zaman nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw pun pernah menikah dengan perempuan non Islam, begitu pula banyak para sahabat nabi dan tabi’in yang melakukan hal serupa. Nabi Muhammad saw pernah menikah dengan wanita keturunan Yahudi dari suku Quraidlah dan Musthalik, dan seorang wanita dari Gubernur di Mesir bernama Maria Al- Qibtiyah.

B. Nikah Beda Agama Menurut UU Perkawinan No.1 th 1974

            Dalam negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur luhur tetapi juga terdapat unsur batin.
            Dalam pasal 1 UU Perkawinan ditetapkan rumusan pengertian perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
            Selanjutnya dalam pasal 2 (ayat 1) ditetapkan bahwa
            Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
                Dari ketentuan pasal di atas dapat disimpulkan baha tidak ada perkawinan yang dilakukan di luar hukum agama dan kepercayaannya, sebab untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan berdasarkan pada hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Lantas bagaimana apabila kedua calon suami isteri menganut agama yang berbeda dan tetap mempertahankan agamanya masing-masing ?
            Dengan tidak adanya ketentuan tentang perkawinan beda agama di dalam UU Perkawinan, maka sangat sulit untuk melakukan perkawinan beda agama di Indonesia karena tidak diatur dan lembaga-lembaga yang mengurusi administrasi perkawinan pun dibedakan, untuk perkawinan agama Islam lembaga yang bertugas melakukan pencatatan adalah Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk yang ada di KUA, sedang untuk perkawinan non Islam dicatat oleh Lembaga Catatan Sipil (LCS). Orang Islam yang ingin menikah tudak dapat dicatat oleh LCS begitu pun sebaliknya orang non Islam yang ingin menikah juga tidak dapat dicatat oleh Lembaga PNRT. Dan sesuai dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1983 tentang penataan dan peningkatan pembinaan penyelenggaraan catatan sipil, telah meniadakan tugas penyelenggaraan perkawinan yang merupakan kewenangan Kantor Catatan Sipil.9  Jadi semakin menipiskan peluang untuk melakukan perkawinan beda agama, karena secara hukum tidak ada lembaga yang dapat mencatat perkawinan mereka.
            Tetapi kita juga tidak dapat menghindari masalah tersebut karena negara kita sangat sangat majemuk dan terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama ,dan budaya. Pada perkawinan beda agama semua dapat teratasi apabila ada salah satu dari calon suami isteri yang mengalah untuk mengikuti agama suami atau isteri. Dengan cara begitu perkawinan akan melibatkan 1 agama saja, sehingga memudahkan untuk melangsungkan perkawinan. Atau dengan cara salah satu pihak menundukkan diri pada hukum agama suami atau isteri, tetapi cara ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena dianggap hanya tunduk pada saat acara perkawinan saja, setelah itu mereka kembali ke agama masing-masing. Ini sama saja dengan melecehkan agama, karena hanya bersifat sementara. 

Selasa, 23 November 2010

HAK MENGUASAI TANAH ATAS NEGARA DENGAN KEBERADAAN TANAH ADAT (HAK ULAYAT)

Di era Roformasi seperti sekarang ini semakin besar keinginan masyarakat atas pengelolaan hak adat akan tanah ulayat. Timbulnya hal atau keinginan untuk kembali pada pengakuan hak ulayat yang selama ini dikesampingkan. Hal ini berakar pada masalah pengakuan negara atas tanah adat yang dikategorikan sebagai tanah negara. Semua kewenangan negara yang bersumber pada hak menguasai Sumber Daya Alam oleh negara sebagai negara diatur dalam pasal 2 UUPA, melainkan hanya meneliti salah satu wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai Sumber Daya Alam oleh negara tersebut, yaitu wewenang untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan tanah.
Wewengan negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang termasuk masyarakat hukum adat dengan tanah terkait erat dengan hubungan hukum antara negara dengan tanah. Hal ini disebabkan karena, hubungan hukum antara negara dengan tanah sangat mempengaruhi dan menentukan isi perundang-undangan yang mengatur tentang hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya serta pengakuan dan perlindungan hak-hak yang timbul dari hubungan-hubungan hukum tersebut, hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk menjamin kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak atas tanah diperlukan untuk memberi jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak atas tanahnya tidak dilanggar oleh siapapun. Oleh karena itu sangat tidak tepat jika melihat hubungan negara atas tanah terlepas dengan hubungan antara perorangan dengan tanahnya. Ketiga hubungan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, dan merupakan hubungan yang bersifat “Tritunggal”.
Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak menguasai negara atas tanah. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat, dengan hubungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah.
Idealnya hubungan ketiga hal tersebut (hak menguasai tanah atas negara, hak ulayat, dan hak perorangan atas tanah) terjalin secara harmonis dan seimbang. Artinya ketiga hak itu sama kedudukan dan kekuatannya, dan tidak saling merugikan. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia, memberikan kekuasaan yang besar dan tidak jelas batasan-batasannya kepada negara untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah Indonesia. Akibatnya, terjadi dominasi hak menguasai tanah oleh negara terhadap hak ulayat dan hak perorangan atas tanah, sehingga memberi peluang kepada negara untuk bertindak sewenang-wenang dan berpotensi melanggar hak ulayat dan hak perorangan atas tanah. Sebagai contoh, berdasarkan Undang-undang Nomor11 tahun 1967 tentang “Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan”dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang “Kehutanan”, dalam pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Kuasa Tambang (KP) yang diberikan atas tanah ulayat, menyebabkan hilangnya sebagian tanah-tanah ulayat masyarakat hukum adat.     
            Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sudah dijelaskan tentang batasan konsep Hak Menguasai Negara, yang dikaitkan dengan Hak Menguasai Tanah. Pasal 33 ayat (3) merupakan landasan yuridis yang kuat, yang melatarbelakangi timbulnya Hak Menguasai Tanah Oleh Negara. Pasal 33 ayat (3) berbunyi Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata-kata dikuasai Negara yang terdapat dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tidak ditafsirkan secara khusus dalam penjelasannya, sehingga memungkinkan untuk dilakukan penafsiran akan makna dan cakupan pengertiannya. Untuk memahami pengertian dikuasai oleh negara, maka terlebih dahulu dilakukan penafsiran secara etimologis. Dikuasai oleh negara mempunyai kesamaan arti Negara menguasai. Pengertian kata “menguasai” ialah berkuasa atas (sesuatu), memegang kekuasaan atas (sesuatu), sedangkan pengertian kata “penguasaan” berati sebuah proses, cara, perbuatan menguasai atau mengusahakan. Dengan demikian pengertian kata penguasaan lebih luas dari kata menguasai. Hak Menguasai Negara merupakan konsep yang didasarkan pada organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat. Hak Menguasai Negara selain berisi wewenang untuk mengatur, mengurus, mengawasi pengelolaan atau pengusahan bahan galian juga berisi kewajiban untuk mempergunakannya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan tujuan dari pengelolaan sumber daya alam nasional. Tujuan ini dipandang sebagai yang tidak dapat diabaikan, sebab selain merupakan sebuah amanat konstitusi, juga merupakan dambaan oleh setiap warga negara dan merupakan tanggung jawab Negara sebagai konsekuensi dari Hak Menguasai Negara (HMN). Dari berbagai rumusan pengertian mengenai Hak Menguasai Negara, semuanya memberikan indikasi bahwa Hak Menguasai Negara atas sumber daya alam, tidak berati “negara sebagai pemilik”.
            Setelah menyimak Konsep Hak Menguasai Negara berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, maka penguasaaan tanah oleh negara juga merupakan salah satu bagian dari penguasaan Sumber Daya Alam, yang apabila dalam proses pengelolaan dan pemanfaatannya tidak memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia, berati sudah melanggar nilai-nilai yang di amanatkan oleh  Undang-Undang Dasar  Pasal 33 ayat (3) tersebut.

STUDI TERHADAP BIAYA PEROLEHAN HAK MILIK ATAS TANAH DALAM PENERAPAN ASAS TERJANGKAU MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH DI KOTA SAMARINDA.

Ketentuan dasar mengenai pokok-pokok agraria diatur dan diamanhkan oleh Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikelola oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Beranjak dari pasal inilah lahirnya peraturan perundang-undangan yang lebih fokus mengupas ketentuan-ketentuan pokok agraria yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang ketentuan Pokok-Pokok Agraria (LN Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104), selanjutnya disingkat UUPA. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang ketentuan Pokok-Pokok Agraria, hukum tanah di Indonesia bersifat dualisme, artinya selain diakui berlakunya hukum tanah adat yang bersumber dari Hukum Adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai tanah yang didasarkan atas Hukum Barat. (Adrian Sutedi, 2006 : 1). Setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, maka berakhirlah masa dualisme hukum tanah yang berlaku di Indonesia menjadi suatu unifikasi hukum tanah. Segala macam perbuatan hukum yang menyangkut masalah tanah diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, termasuk mengenai pendaftaran tanah sebagai proses penting tercapainya kepastian hukum di bidang pertanahan.
                  Pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 berbunyi : “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Pendaftaran tanah merupakan langkah untuk memberikan kepastian hukum dalam bidang pertanahan mengingat kebutuhan atas tanah semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan lain yang terkait dengan tanah. Tanah tidak saja berfungsi sebagai tempat bermukim, tempat untuk bertani, tetapi tanah juga dapat digunakan sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Begitu pentingnya kegunaan tanah bagi orang atau badan  hukum menuntut adanya jaminan kepastian hukum atas tanah tersebut.
Di Indonesia dalam penerapan sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem negatif yang bertendensi positif artinya “Meskipun subyek hak yang tercatat pada buku tanah masih dapat digugat oleh pihak lain, tetapi diberikan sertipikat sebagai tanda bukti yang kuat” (Irawan Surodjo, 2002 : 44). Sementara itu pemilik tanah yang sebenarnya tidak dihapuskan, akan tetapi dimungkinkan dapat menguasai kembali tanah tersebut sepanjang berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dinyatakan sebagai pemilik yang sah. Ini memberikan pengertian bahwa proses pendaftaran tanah hingga terbitnya sertipikat tanah merupakan langkah penting yang harus dilakukan seseorang apabila tidak ingin dikemudian hari terjadi permasalahan seputar tanah yang dimilikinya atau merupakan sebuah langkah proteksi.
      Melihat pentingnya proses pendaftaran tanah dalam menciptakan kepastian hukum di bidang pertanahan dan berlandaskan pada Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menyebutkan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai pendaftaran Tanah akan diatur oleh Peraturan Pemerintah maka lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 961 Tentang Pendaftaran Tanah (LN Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 28) yang telah disempurnakan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (LN Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59). Pendaftaran Tanah menurut Pasal 1 Poin 1 Peratuan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah “Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur yang meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk surat tanda bukti haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak yang membebaninya”
            Pendaftaran Tanah ini melalui suatu kegiatan yang sangat teliti dan terarah sehinga data dan informasi yang tercantum dalam tanda bukti kepemilikan hak (sertipikat) bukan merupakan data yang asal, tetapi merupakan data yang benar dan harus dapat diterima sebagai alat pembuktian yang kuat selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya.  Secara umum tujuan pendaftaran tanah menurut Pasal 3 Peratuan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, berbunyi :
1.      Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar.
2.      Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan.
3.      Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
            Pasal 2 Peratuan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan mengenai asas dari pendaftaran tanah yang merupakan landasan bagi pelaksanaan pendaftaran tanah. Adapun asas dari pendaftaran tanah dalam Peratuan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah :
1.      Asas sederhana
2.      Asas aman
3.      Asas terjangkau
4.      Asas muktahir
5.      dan Asas terbuka

            Dewasa ini tanah merupakan faktor vital kegiatan ekonomi masyarakat dimana kegunaannya tidak saja hanya sebatas sebagai tempat untuk bermukim tetapi lebih dari pada itu tanah merupakan bentuk investasi masyarakat. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa tingkat kebutuhan masyarakat terhadap tanah semakin tinggi terutama di Kota Samarinda. Semakin tinginya tingkat kebutuhan masyarakat Kota Samarinda terhadap tanah seharusnya diimbangi dengan kesadaran hukum yang tinggi dalam melakukan pendaftaran tanah, hal ini penting untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungn hukum. Tetapi yang sering menjadi kendala bagi masyarakat Kota Samarinda untuk melakukan pendaftaran tanah adalah besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk mendapatkan bukti kepemilikan tanah tersebut. Pasal 11 Ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peratuaran Dasar Pokok-Pokok Agraria disebutkan bahwa “Perbedaan dalam keadaan masyarakat  dan keperluan hukum golongan dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah”.
      Amanah dari UUPA ini tercermin dalam Pasal 2 Peratuan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang salah satunya menyebutkan adanya asas terjangkau. Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan.
            Penerapan biaya permohonan hak atas tanah Badan Pertanahan Nasional Kota Samarinda berpedoman kepada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional (LN Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 88). Penetapan biaya permohonan hak atas tanah juga tidak terlepas dari adanya unsur pajak, hal ini merupakan salah satu proses bagi masyarakat sebelum mendapatkan sertipikat tanah, ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah (LN Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130). Adapun pajak yang harus dibayar oleh masyarakat yang ingin mendapatkan hak atas tanah adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), di dalam praktek besarnya pajak BPHTB inilah yang tidak dapat terkontrol karena setiap tahun selalu bertambah mengikuti besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Oleh karena itu bagi masyarakat yang sekarang yang ingin mendaftarkan tanahnya, di samping harus memenuhi biaya pemohon yang ditetapkan aturan pendaftaran tanah masih juga ada biaya-biaya lain atas perintah undang-undang yang tidak dapat diabaikan seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang BPHTB. Pada tingkat daerah sesuai Keputusan Kakanwil Badan Pertanahan Nasional Prov. Kaltim No.29/600/BPN-44/2007 tertanggal 2 Februari Tahun 2007, keputusan biaya untuk pendaftaran tanah sudah ditentukan yang merupakan pedoman bagi pelaksanaan pendaftaran tanah di daerah Samarinda khususnya mengatur mengenai besarnya tarif  pembayaran blanko permohonan, tarif pembayaran panitia A, dan biaya pendaftaran Surat Keputusan Hak. Bagi pemohon sertipikat yang sudah membayar biaya pendaftaran Surat Keputusan Hak tidak serta merta langsung mendapatkan sertipikat hak atas tanah, ada beberapa proses pembayaran yang harus dilalui diantaranya adalah proses pembayaran uang pemasukan kas Negara yang dibayar di Loket Kantor Pertanahan setempat, dan membayar biaya BPHTB di bank-bank yang telah ditunjuk. Semua biaya yang dibebankan dari ketentuan aturan pendaftaran tanah itu sendiri menjadi sebuah masalah bagi kebanyakan masyarakat Samarinda untuk mendaftarkan tanahnya, apalagi bagi golongan masyarakat yang tidak mampu. Disinilah diperlukan adanya penerapan asas terjangkau yang mampu merangkul semua golongan terutama golongan ekonomi lemah untuk dapat melakukan proses sertipikasi tanah yang dimilikinya.
            Pendaftaran tanah merupakan jalan bagi si pemilik hak atas tanah untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanahnya dan sertipikat tanah adalah alat pembuktian terkuat yang merupakan hasil dari proses-proses pendaftaran tanah. Menjadi perhatian disini adalah tingginya biaya pendaftaran tanah dapat menghalangi mereka-mereka yang tidak mampu secara ekonomi untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanah yang dimiliknya. Padahal tidak semua masyarakat Samarinda mampu untuk membayar biaya sertipikasi tanah tersebut. Tingginya biaya yang harus mereka keluarkan untuk mendapatkan sertipikat tanah menimbulkan pertanyaan apakah kepastian hukum yang merupakan tujuan dari pendaftaran tanah dapat dilaksanakan. 

Kamis, 18 November 2010

Eksistensi dan Dualisme Pembinaan Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan di Indonesia


Era reformasi yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 1998, salah satu penyebabnya adalah pengaruh perubahan nilai terhadap prilaku politik, ekonomi dan hukum. Oleh karena itu reformasi mencakup 3 (tiga) aspek yaitu politik, ekonomi dan hukum. Reformasi di bidang hukum berusaha untuk menegakan kembali supremasi hukum. Dan dalam rangka menegakkan supremasi hukum, lembaga yang paling banyak disorot adalah lembaga peradilan.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa negara Indonesia merupakan sebuah negara hukum (pasal 1 ayat 3). Secara sederhana Negara Hukum dapat diartikan sebagai negara yang meletakkan hukum sebagai panglima dan pedoman di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, mengalahkan segala bentuk  kekuasaan lainnya. Dari konsep negara ini berarti negara Indonesia menghendaki adanya supremasi hukum dan  upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga-lembaga peradilan.
Di dalam sebuah negara hukum peranan dari lembaga-lembaga peradilan sangat diperlukan demi tercapainya sebuah supremasi hukum. Upaya penegakan hukum ini diterapkan diberbagai bidang, dan salah satunya adalah di bidang Perpajakan untuk memberikan keadilan sebagai akibat timbulnya permasalahan antara subjek pajak (rakyat) dengan pemungut pajak (pemerintah) atau dapat pula disebut sebagai sengketa pajak. Dari hal tersebut maka dibentuklah Pengadilan Pajak melalui Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
Di Indonesia badan peradilan yang menangani masalah perpajakan sebenarnya telah ada sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Lembaga yang pertama kali dibentuk untuk mengadili sengketa pajak adalah Raad van Beroep voor Belastingzaken (Majelis Pertimbangan Rakyat) pada tahun 1915. Dalam perkembangan selanjutnya pada periode 1983 hingga 1997, dicoba dibentuk Badan Peradilan Pajak, akan tetapi usaha-usaha yang dilakukan tidak memberi hasil untuk terbentuknya Badan Peradilan Pajak, sehingga kewenangan mengadili sengketa pajak tetap dijalankan oleh Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), namun  dengan kewenangan yang diperluas. Pada periode 1997 hingga 2002, kewenangan mengadili sengeta pajak beralih pada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997. Namun, dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan dan sejak tahun 2002 kewenangan ini beralih kepada Pengadilan Pajak, sebagai “format” terbaru dari badan penyelesaian sengketa pajak yang diharapkan dapat mewujudkan keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa, dan sebagai penyempurna dari badan-badan penyelesaian sengketa pajak terdahulu.
Pengadilan Pajak yang dibuat atas dasar Undang-undang Nomor 14   Tahun 2002. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan yang mengurusi masalah perpajakan pada tingkat pertama dan terakhir (Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor.14 Tahun 2002). Secara hirarki Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan khusus dari lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara, karena melihat dari wewenang yang sama-sama memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Administrasi Negara. Melihat secara hirarki Pengadilan pajak merupakan peradilan administrasi (yudicial control) yang salah satu tujuannya adalah dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada rakyat yang merasa dirugikan sebagia akibat dari keputusan administrasi negara dalam bentuk ketetapan (beschikking) yang diterbitkan oleh pejabat atau badan Administrasi Negara. Pada dasarnya keberadaan Pengadilan Pajak diharapkan mampu memberikan rasa keadilan kepada pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah masyarakat, tetapi dalam perjalanannya banyak masalah-masalah yang timbul baik dari segi kelembagaan, pembinaan, dan sistem regulasi yang mengatur Pengadilan Pajak itu sendiri.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 (2) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 2 lembaga pemegang kekuasan kehakiman tertingi, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi beserta 4 lingkungan peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Keempat peradilan yang terdapat di dalam Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945 adalah bersifat limitatif atau tetap artinya tidak dimungkinkan lagi adanya lembaga peradilan selain keempat peradilan tersebut. Apabila dilihat dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, di dalamnya tidak terdapat sebuah ketetapan mengenai letak dan kedudukan pengadilan pajak. Hal ini yang menimbulkan kesan bahwa pengadilan pajak merupakan sebuah lembaga peradilan baru selain keempat peradilan yang ditetapkan oleh Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945. Dalam Pasal 2 Undang-undang nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa  Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Ketentuan tersebut walaupun tidak konkrit disebutkan namun dapat dipahami kehendak pasal tersebut adalah menginginkan adanya badan peradilan pajak secara mandiri sebagaimana Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Uaha Negara, yang sama-sama berkedudukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Hal ini dikarenakan Pengadilan Pajak telah memiliki seperangkat aturan yang melandasi keberadaannya, disamping karakteristik proses penyelesaian sengketa yang berbeda dengan badan peradilan lainnya.
Terbentuknya Pengadilan Pajak tidak terlepas dari upaya perlindungan hukum bagi rakyat. Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan salah satu yang sangat esensial dalam suatu negara hukum. Perlindungan dalam bidang perpajakan ini diberikan mengingat pemerintah selaku penguasa negara yang memiliki kewenangan atas hukum publik yang dengan hal itu dapat menentukan secara sepihak mengenai pemungutan pajak dan dalam proses pemungutan pajak yang dilakukan pemerintah tersebut sangat mungkin dan bahkan sering terjadi kelalaian atau kesalahan dalam menetapkan hutang pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak serta agar rakyat tidak diperlakukan semena-mena. Sehingga dalam menyelesaikan suatu sengketa pajak, kedudukan pemungut pajak (pemerintah) dan wajib pajak (rakyat) adalah sama.
Kontroversi mengenai pengadilan pajak berkembang seiring dengan perjalanan pengadilan ini. Kontroversi ini lahir karena masih adanya kekuasaan eksekutif (sebagai pemilik kewenangan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan) dalam Pengadilan Pajak yang berada di bawah kekuasaan yudikatif (kekuasaan kehakiman). 
Oleh karena itu, kajian ilmiah ini dilakukan untuk menganalisa bagaimana eksistensi dan dualisme pembinaan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia serta bagaimana pula implikasi yuridis dari eksistensi dan dualisme pembinaan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia.